Dendam Sang Ayah dan Ujian Nasional
Perasaan galau kembali menghampiri pelajar kelas XII SMA secara umum, karena Ujian Nasional tinggal beberapa minggu kedepan. Meskipun Ujian Nasional tidak lagi menjadi penentu kelulusan tetapi trauma Ujian Nasional ketika kelas IX SMP masih saja melekat, sehingga ketika mendengar Ujian Nasional menjadi sesuatu yang menakutkan.
Beberapa hari yang lalu mendapat cerita yang baik di media sosial, dimana cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi dari Bapak Yat Lessie. Pengalaman pribadi dari Bapak Yat Lessie ini sudah di share di facebook, ini mungkin dapat kita jadikan sebuah catatan agar anak tidak terlalu takut dalam menghadapai Ujian Nasional dan sebagai orang tua atau guru kita tidak memaksakan anak-anak untuk "hasil tertentu" pada Ujian Nasional.
Mari kita simak ceritanya;
Mampus aku...
Benar benar aku mati konyol, saat Pa Ubes, guru aljabar [matematika sekarang] SMPN 1 Cimahi, barusan berujar mantap. ....Anak-anak, keluarkan sehelai kertas, kita ulangan sekarang tentang pelajaran minggu kemarin....
Mati aku, minggu lalu aku absen sakit, dan aku belum sempat secuilpun membuat salinan pelajaran minggu lalu itu. Lalu sejam ulangan itu membuat berasa dalam neraka. Soal-soal yang tak kumengerti karena benar benar baru …..
Esoknya, jam istirahat, emang pesuruh sekolah mendatangiku, ….
Kamu dipanggil kepala sekolah , sekarang ! …. Kata si emang, tanpa basa basi. Temanku pada melongo, ada kepentingan apa aku dipanggil kepala sekolah. Aku berangkat, masuk ke ruang beliau, dan duduk dikursi didepannya.
Apa ini ? ….
Beliau menyodorkan selembar kertas. Aku menengok …. Dan wuiih, itu kertas lembaran soal ulangan aljabar kemaren. Diatasnya tertera angka 55 dibulati tinta merah. Urusan hasil ulangan buruk saja, sampe kepala sekolah yang turun tangan, buseeet dah !….
Lalu aku jelaskan saja seadanya, dan beliau paham. Maklum, kepala sekolah SMPN 1 ini, alm Bpk Juju Sayid adalah ayahku sendiri. Jadi sekali saja hasil ulanganku buruk, tak ada ampun, dipanggil sama kepala sekolah .. he he
Kamu sudah kelas 3, sebentar lagi ujian akhir nasional …. beliau menjelaskan.
Siap pak …. Aku cuma bisa menggangguk dengan segumpal malu di benakku.
Bekal malu itu yang membuat 3 bulan menjelang ujian nasional, aku selalu membawa buku pelajaran kemanapun pergi, buat dibaca jika ada waktu senggang. Saat kami ngumpul di rumah Kang Heryadi Rahmat [sekarang Geolog terkemuka, pengarang buku “ Tambora menyapa duniaâ€] yang jadi markas bersama. Lalu bersepeda ontel keliling kota, lewat rumah teh Weni yang jadi gebetan cinta monyetku waktu itu. Bahkan bersarang dibatang pohon jambu batu, ambil posisi enak, makan jambu dan … baca buku.
Tak ada stress berlebih. Tak ada istigozah yang meratap ratap. Tak ada kesibukan mencari bocoran soal. Tak ada ortu yang mengancam-ancam kalau tak lulus. Tak ada guru atau kepala sekolah yang bicara target kelulusan. Semuanya biasa saja, ujian nasional berlangsung dan nilaipun keluar dengan serempak. Ada yang lulus dan ada yang tidak. Semuanya berjalan dengan biasa biasa saja, tanpa menimbulkan gejolak yang berarti. Bahkan gagal ujianpun hanya punya satu opsi, yaitu mengulang untuk tahun depan....
Saat lembar ijazah dan nilai akhir ujian nasional kuperlihatkan kepada ayah, sesuai dengan janjiku memperbaiki nilai Aljabar, ayah bersikap biasa juga…. Sok sekarang siapkan syarat pendaftaran ke SMAN 1 , dan sana pergi daftar sendiri. ….. hanya itu pesan ayah.
Ayah tentu gembira melihat hasil ujianku. Namun hasil ujian bukan tujuannya. Beliau lebih melihat proses ketimbang hasil / result. Beliau lebih suka, ketika aku enjoy duduk dibatang pohon jambu didepan rumah, dengan buku ditangan, dibaca habis sampai “ngelotok†….
Yang ayah ajarkan bukan nilai 10 yang sempurna, namun “there is a will there is a way “. Sebuah kesungguhan yang beliau sendiri perlihatkan dalam keteladanan, dalam kehidupan kesehariannya. Saat uang sekolah terkumpul, beliau tak pernah pegang uang. Beliau panggil guru guru untuk menghadap, dan bertanya tentang kesulitan hidup. Lalu guru boleh mengambil bahan kebutuhan pokok untuk dibayar di saat gajian nanti. Saat uang cukup, beliau membuat 2 lapang basket di SMPN 1 dan SMPN 2 cimahi. Tujuannya sederhana saja, yaitu membuat anak peserta didik lancar dalam mengikuti proses pendidikan, sementara hasil akhir hanya konsekwensi logis, dan bukan semata tujuan.
Memang benar, ketika David Mc Leland ahli psikososial berujar, dalam sebuah negara yang tengah berkembang secara ekonomi, dibutuhkan 2 kriteria pokok. Yaitu munculnya masyarakat yang “achievement oriented†dan ke wira-usaha an. Ketika hal ini dibawa ke sistem pendidikan, maka orientasi achievement berubah menjadi “target kelulusan†. Menjadi sebuah “harga-matiâ€, dimulai dari sang menteri, gubernur, walikota, bupati, kepala dinas, kepala sekolah, guru , dst ….
Penekanan berantai, dari atas menekan yang dibawahnya, sebuah threats motivation. Sampai pada kepala sekolah, guru dan tentu saja murid-murid di kelas-kelas akhir. Mereka harus menanggung beban, yang seharusnya bukan menjadi tanggungan mereka. Karena seringkali “target kelulusan†itu bukan diwilayah pendidikan, namun berada pada tataran politik, dimana sang pejabat membutuhkan dukungan untuk status-quo nya selama ini.
Acuannya, jelas berupa nilai akhir ujian nasional. Segelintir angka yang konon bicara tentang “kecerdasan†dan sekaligus sebagai bukti keberhasilan para pemegang otoritas. Jika tidak “achieved†maka mutasi ketempat terpencil dan gersang menjadi ancamannya. Padahal tak ada seorangpun yang mau berhadapan dengan resiko tadi. Lalu semua jurus dimainkan. Mulai dari bocoran soal, sampai kutak katik nilai akhir, dan tentu saja selalu dengan bumbu penyedap aliran uang. Mau sistem manual pake kertas, atau CBT [Computer Base Test] yang paperless…. Sama saja , karena apapun itu, hanya sekedar alat , sekedar the gun, dan bukan “ the man†behind it ….
Saat kertas ijasah lusuh itu kugenggam kini, 46 tahun sudah terlewati. Lalu aku mafhum mengapa ayah bersikap biasa biasa saja melihat angka nilai kelulusanku. Karena angka itu hanya sekedar penguasan terhadap hardskills, dimana setiap orang juga bisa melakukannya. Ayah tidak hanya mengajarkan itu, karena yang terlebih penting adalah pada wilayah softskills, dimana will dan skills digabung menjadi kesatuan integratif.
Wilayah pendidikan harus keluar dari sistem dagang , sebuah dunia komersial layaknya salesman yang “achievment oriented “, dan kembali pada “process orientedâ€. Tak ada pemahaman tentang softskills yang sekedar dibaca dan dihapalkan, karena softskills hanya mampu dipahami dengan cara dilakukan saja. Hanya going in to the object it self, artinya cuma pendekatan proses saja yang mampu menumbuhkannya.
Saat itu dilakukan, tak ada lagi stress pada anak-anak didik saat masuk ke ujian nasional. Semua akan mengalir dengan begitu saja. Karena sistem pendidikan kembali pada fitrahnya, yaitu semata mata belajar tentang arti dan makna sebuah KESUNGGUHAN.
Kesungguhan yang sama,
yang beliau perlihatkan, saat dipanggil kehadirat Nya.
Tepat pada rakaat kedua sembahyang Isya.
Disana, diatas sajadah, beliau tersungkur lalu terbujur
Nafas dan detak jantungnya sudah tak ada.
Namun
pelajaran tentang kesungguhannya
masih berdetak keras
masih mengalun deras
masih mengilhami kepala …..
Salam rindu buat ayah tercinta ….
Yat Lessie
Apa yang kita lakukan hari ini adalah Membangun Masa Depan;
Via : http://www.foldersoal.com
Beberapa hari yang lalu mendapat cerita yang baik di media sosial, dimana cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi dari Bapak Yat Lessie. Pengalaman pribadi dari Bapak Yat Lessie ini sudah di share di facebook, ini mungkin dapat kita jadikan sebuah catatan agar anak tidak terlalu takut dalam menghadapai Ujian Nasional dan sebagai orang tua atau guru kita tidak memaksakan anak-anak untuk "hasil tertentu" pada Ujian Nasional.
Mari kita simak ceritanya;
Mampus aku...
Benar benar aku mati konyol, saat Pa Ubes, guru aljabar [matematika sekarang] SMPN 1 Cimahi, barusan berujar mantap. ....Anak-anak, keluarkan sehelai kertas, kita ulangan sekarang tentang pelajaran minggu kemarin....
Mati aku, minggu lalu aku absen sakit, dan aku belum sempat secuilpun membuat salinan pelajaran minggu lalu itu. Lalu sejam ulangan itu membuat berasa dalam neraka. Soal-soal yang tak kumengerti karena benar benar baru …..
Esoknya, jam istirahat, emang pesuruh sekolah mendatangiku, ….
Kamu dipanggil kepala sekolah , sekarang ! …. Kata si emang, tanpa basa basi. Temanku pada melongo, ada kepentingan apa aku dipanggil kepala sekolah. Aku berangkat, masuk ke ruang beliau, dan duduk dikursi didepannya.
Apa ini ? ….
Beliau menyodorkan selembar kertas. Aku menengok …. Dan wuiih, itu kertas lembaran soal ulangan aljabar kemaren. Diatasnya tertera angka 55 dibulati tinta merah. Urusan hasil ulangan buruk saja, sampe kepala sekolah yang turun tangan, buseeet dah !….
Lalu aku jelaskan saja seadanya, dan beliau paham. Maklum, kepala sekolah SMPN 1 ini, alm Bpk Juju Sayid adalah ayahku sendiri. Jadi sekali saja hasil ulanganku buruk, tak ada ampun, dipanggil sama kepala sekolah .. he he
Kamu sudah kelas 3, sebentar lagi ujian akhir nasional …. beliau menjelaskan.
Siap pak …. Aku cuma bisa menggangguk dengan segumpal malu di benakku.
Bekal malu itu yang membuat 3 bulan menjelang ujian nasional, aku selalu membawa buku pelajaran kemanapun pergi, buat dibaca jika ada waktu senggang. Saat kami ngumpul di rumah Kang Heryadi Rahmat [sekarang Geolog terkemuka, pengarang buku “ Tambora menyapa duniaâ€] yang jadi markas bersama. Lalu bersepeda ontel keliling kota, lewat rumah teh Weni yang jadi gebetan cinta monyetku waktu itu. Bahkan bersarang dibatang pohon jambu batu, ambil posisi enak, makan jambu dan … baca buku.
Saat lembar ijazah dan nilai akhir ujian nasional kuperlihatkan kepada ayah, sesuai dengan janjiku memperbaiki nilai Aljabar, ayah bersikap biasa juga…. Sok sekarang siapkan syarat pendaftaran ke SMAN 1 , dan sana pergi daftar sendiri. ….. hanya itu pesan ayah.
Ayah tentu gembira melihat hasil ujianku. Namun hasil ujian bukan tujuannya. Beliau lebih melihat proses ketimbang hasil / result. Beliau lebih suka, ketika aku enjoy duduk dibatang pohon jambu didepan rumah, dengan buku ditangan, dibaca habis sampai “ngelotok†….
Yang ayah ajarkan bukan nilai 10 yang sempurna, namun “there is a will there is a way “. Sebuah kesungguhan yang beliau sendiri perlihatkan dalam keteladanan, dalam kehidupan kesehariannya. Saat uang sekolah terkumpul, beliau tak pernah pegang uang. Beliau panggil guru guru untuk menghadap, dan bertanya tentang kesulitan hidup. Lalu guru boleh mengambil bahan kebutuhan pokok untuk dibayar di saat gajian nanti. Saat uang cukup, beliau membuat 2 lapang basket di SMPN 1 dan SMPN 2 cimahi. Tujuannya sederhana saja, yaitu membuat anak peserta didik lancar dalam mengikuti proses pendidikan, sementara hasil akhir hanya konsekwensi logis, dan bukan semata tujuan.
Memang benar, ketika David Mc Leland ahli psikososial berujar, dalam sebuah negara yang tengah berkembang secara ekonomi, dibutuhkan 2 kriteria pokok. Yaitu munculnya masyarakat yang “achievement oriented†dan ke wira-usaha an. Ketika hal ini dibawa ke sistem pendidikan, maka orientasi achievement berubah menjadi “target kelulusan†. Menjadi sebuah “harga-matiâ€, dimulai dari sang menteri, gubernur, walikota, bupati, kepala dinas, kepala sekolah, guru , dst ….
Penekanan berantai, dari atas menekan yang dibawahnya, sebuah threats motivation. Sampai pada kepala sekolah, guru dan tentu saja murid-murid di kelas-kelas akhir. Mereka harus menanggung beban, yang seharusnya bukan menjadi tanggungan mereka. Karena seringkali “target kelulusan†itu bukan diwilayah pendidikan, namun berada pada tataran politik, dimana sang pejabat membutuhkan dukungan untuk status-quo nya selama ini.
Acuannya, jelas berupa nilai akhir ujian nasional. Segelintir angka yang konon bicara tentang “kecerdasan†dan sekaligus sebagai bukti keberhasilan para pemegang otoritas. Jika tidak “achieved†maka mutasi ketempat terpencil dan gersang menjadi ancamannya. Padahal tak ada seorangpun yang mau berhadapan dengan resiko tadi. Lalu semua jurus dimainkan. Mulai dari bocoran soal, sampai kutak katik nilai akhir, dan tentu saja selalu dengan bumbu penyedap aliran uang. Mau sistem manual pake kertas, atau CBT [Computer Base Test] yang paperless…. Sama saja , karena apapun itu, hanya sekedar alat , sekedar the gun, dan bukan “ the man†behind it ….
Saat kertas ijasah lusuh itu kugenggam kini, 46 tahun sudah terlewati. Lalu aku mafhum mengapa ayah bersikap biasa biasa saja melihat angka nilai kelulusanku. Karena angka itu hanya sekedar penguasan terhadap hardskills, dimana setiap orang juga bisa melakukannya. Ayah tidak hanya mengajarkan itu, karena yang terlebih penting adalah pada wilayah softskills, dimana will dan skills digabung menjadi kesatuan integratif.
Wilayah pendidikan harus keluar dari sistem dagang , sebuah dunia komersial layaknya salesman yang “achievment oriented “, dan kembali pada “process orientedâ€. Tak ada pemahaman tentang softskills yang sekedar dibaca dan dihapalkan, karena softskills hanya mampu dipahami dengan cara dilakukan saja. Hanya going in to the object it self, artinya cuma pendekatan proses saja yang mampu menumbuhkannya.
Saat itu dilakukan, tak ada lagi stress pada anak-anak didik saat masuk ke ujian nasional. Semua akan mengalir dengan begitu saja. Karena sistem pendidikan kembali pada fitrahnya, yaitu semata mata belajar tentang arti dan makna sebuah KESUNGGUHAN.
Kesungguhan yang sama,
yang beliau perlihatkan, saat dipanggil kehadirat Nya.
Tepat pada rakaat kedua sembahyang Isya.
Disana, diatas sajadah, beliau tersungkur lalu terbujur
Nafas dan detak jantungnya sudah tak ada.
Namun
pelajaran tentang kesungguhannya
masih berdetak keras
masih mengalun deras
masih mengilhami kepala …..
Salam rindu buat ayah tercinta ….
Yat Lessie
Apa yang kita lakukan hari ini adalah Membangun Masa Depan;
Via : http://www.foldersoal.com
0 Response to "Dendam Sang Ayah dan Ujian Nasional"
Post a Comment